Budaya massa adalah produk kebudayaan yang terus menerus direproduksi sekaligus dikonsumsi secara massal, sehingga industri yang tercipta dari budaya massa ini berorientasi pada penciptaan keuntungan sebesar-besarnya. Budaya massa tercipta sebagai akibat dari kritik atas budaya tradisional, di mana budaya tradisional ini muncul dan berasal dari masyarakat itu sendiri dan tidak terikat atau tergantung pada media massa.
Budaya tradisional sendiri, terbangun dari proses adaptasi interaksi kelas elit masyarakat dalam hal estetika, sangat mengagungkan kesusatraan dan tradisi keilmuan. Sedangkan pada budaya massa, sebagai kritik atas budaya tradisional, merujuk kepada proses pluralisme dan demokrasi yang kental, berusaha untuk menghilangkan kelas-kelas yang mendasarkan dirinya pada budaya modal, borjuasi dan elitisme, dengan mengedepankan kebersamaan dan egalitarianisme.
Namun secara negatif, budaya massa juga banyak diartikan sebagai perilaku konsumerisme, kesenangan universal yang bersifat hanya seketika, mudah punah, dan memiliki makna yang dangkal dan tidak bersifat ganda, mengacu kepada pengertian produk budaya yang diciptakan semata-mata untuk pasar.
Dengan kata lain, dalam budaya massa, orientasi produk adalah trend atau mode yang sedang diminati pasar. Kesamaan atau keseragaman model dan etos adalah corak terpenting dalam budaya massa. Dalam hal ini, perilaku yang muncul adalah proses imitasi dan peniruan, dimana proses ini adalah hasil dari kecenderungan manusia untuk melakukan imitasi atas nilai dan bentuk-bentuk yang dipercaya atau dirasakan mempunyai kecocokan. Namun, pada konteks budaya massa, peniruan yang mengarah pada keseragaman ini dibentuk secara terperinci dan sistematis oleh sebuah otoritas politik ekonomi, yang diimplementasikan oleh kekuatan komunikasi massa dengan institusi medianya serta kepentingan ekonomis dan ideologis orang-orang yang berada di dalamnya.
Dalam pembentukan budaya massa ini, komunikasi massa dan segala institusinya memiliki peranan yang sangat signifikan dan efektif dalam kaitannya untuk menajamkan opini dan mempengaruhi perilaku secara massal, serta pembentukan homogenitas budaya dalam masyarakat. Melihat kenyataan bagaimana komunikasi massa yang direpresentasikan oleh media massa mengarahkan dan membentuk perilaku khalayak dan menjadikan khalayak sebagai pasar dari produk yang mereka ciptakan, semata hanya untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan aspek ekonomis dari pemilik media massa ataupun kekuatan lain yang secara politis menarik keuntungan dari hal tersebut.


Budaya Massa dan Media
Mursito mengatakan bahwa di hadapan khalayak, media massa memiliki kredibilitas yang tinggi. Masyarakat percaya bahwa apa yang dikemukakan media massa adalah realitas yang sepenuhnya berasal dari kebenaran fakta. Dengan perkataan lain, realitas media dianggap representasi fakta. Oleh karena itu, media massa telah menjadi ruang bagi khalayak, sama kedudukannya dengan ruang kehidupannya sehari-hari (Jurnal Komunikasi Massa, Vol. 1, No. 1, Januari 2008, Jurusan IlmuKomunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta). Hal ini, jika dikaitkan dengan ciri-ciri khalayak budaya massa yang cenderung konsumtif, yang memiliki tujuan untuk kesenangan seketika dan sebagai pengalihan perhatian dari hal-hal yang dianggap beban hidup dan rutinitas, maka menjadi kunci tentang definisi implementatif daripada budaya massa, dimana definisi ini menganggap bahwa sebuah isi berita (informasi) atau tayangan sebagai komoditas, dan penonton sebagai konsumen, serta bekerja berdasarkan mekanisme pasar.
Selera masyarakat didefinisikan sebagai pasar. Konsekuensi dari orientasi ke pasar ini diterima oleh kebudayaan, yang dikonsepsikan sebagai budaya massa. Dalam konteks tayangan televisi di Indonesia, yang didominasi oleh televisi swasta atau komersial, orientasi pasar yang dikonsepsikan sebagai budaya massa ini sangat kental dan sangat nyata dilihat dan dirasakan. Hal ini juga dikatakan oleh Veven SP. Wardhana (Veven SP. Wardhana, 1997, Kapitalisme Televisi dan Strategi Budaya Massa, Pustaka Pelajar, Yogyakarta) bahwa televisi swasta (komersial), menjadi bagian dari kebudayaan massa. Sebagai bagian dari laku komersial dan budaya massa, maka liku-langkahnya pun sesuai dengan dinamika kapitalisasi, dimana produk yang ditayangkan adalah bertujuan untuk memuaskan sifat konsumerisme khalayak, memuaskan dahaga kesenangan sesaat dan menjadi alat untuk mengalihkan perhatian dari rutinitas yang dianggap sebagai beban hidup.
Susilo (2005:11, Susilo, M. Edy, 2005, Paradoks Sinetron Religius, Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 3,Nomor 3, September – Desember 2005, Jurusan Ilmu Komunikasi FI“IP UPN Veteran, Yogyakarta) menulis bahwa televisi merupakan anak kandung dari kapitalisme. Televisi akan melahirkan program yang digemari khalayak, apapun macamnya. Selama tayangan tersebut masih mendatangkan keuntungan melimpah, acara tersebut akan selalu ditayangkan. Namun, bila masyarakat sudah mulai jenuh, tayangan tersebut dengan sendirinya akan ditinggalkan. Begitulah kondisi aktual yang terjadi pada penonton di Indonesia. Penonton kita mudah sekali menyukai program yang sejenis. Dulu, ketika program Dunia Lain sukses, program sejenis yang hadir ikut memiliki angka penonton yang tinggi. Begitu juga ketika ada program-program ber-genrereligius. Namun setelah itu, sudah bisa dan sangat mudah ditebak, pasar menjadi jenuh. Selangkah kemudian, program ini satu per satu gulung tikar dan diganti dengan program yang lebih menarik minat penonton lainnya.

Budaya Massa dalam Reality Show
Menurut Veven SP. Wardhana (Wardhana, Veven Sp., 1995, Budaya Massa dan Pergeseran Masyarakat, Pustaka Pelajar, Yogyakarta), kisah-kisah nyata yang diangkat ke layar kaca bukanlah menekankan pada realitas atau informasi faktualnya, melainkan lebih pada dramatisasinya, bahkan melodramanya dan itu memang dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan refreshing psikologis penonton. Dalam hal ini, jika dikaitkan dengan budaya massa dan perilaku pasar televisi di Indonesia, maka akan dapat merujuk pada tayangan-tayangan reality show yang sedang marak dan menjadi trend pada khalayak penonton di Indonesia.
Pengertian dari reality show  itu sendiri adalah genre acara televisi yang menggambarkan adegan yang seakan-akan benar-benar berlangsung tanpa skenario, dengan pemain yang umumnya khalayak umum biasa, bukan pemeran. Reality show  umumnya menampilkan kenyataan yang dimodifikasi, seperti menaruh partisipan di lokasi-lokasi eksotis atau situasi-situasi yang tidak lazim, memancing reaksi tertentu dari partisipan, dan melalui penyuntingan dan teknik-teknik pasca produksi lainnya. Reality show  biasanya menggunakan tema seperti cinta, persaingan, kehidupan sehari-hari seorang selebritis, pencarian bakat, pencarian pasangan hidup, rekayasa jebakan, dan diangkatnya status seseorang dengan diberikan uang banyak, atau perbaikan kondisi barang kepemilikan seperti rumah atau perbaikan mobil (http://id.wikipedia.org/wiki/Reality_show).
Tayangan reality show  ini pada awalnya mirip dengan dokumentasi news. Hanya saja pada perkembangannya, reality show  ini bukan berita yang menjadi pokok tayangannya, melainkan keterkaitan emosi penonton dengan aktornya. Dengan kata lain, reality show  merupakan kejadian asli tanpa rekayasa. Hanya saja, sebagai kemasan tontonan, reality show  diracik sedemikian rupa hingga mampu memancing emosi penonton meluap. Sebut saja seperti Hari Yang Aneh (ANTV), Bukan Sinetron (Global TV), Snapshot (Metro TV), Katakan Cinta (RCTI), Cinta Monyet (SCTV), Termehek-Mehek (TRANS TV), dan MataKamera (TV One).
Perkembangan acara televisi, khususnya reality show  tampaknya mampu menggeser fenomena tayangan mistis dan tayangan-tayangan berbau religius. Semua acara yang melibatkan orang biasa (bukan artis), kini dicap sebagai acara reality show. Diramu dengan penambahan-penambahan(rekayasa) tertentu agar alur ceritanya menjadi lebih sendu. Siapa pun pemerannya asal punya cerita atau kisah yang menyentuh emosi penonton, maka ia layak tonton. Hal ini menjadi berbahaya, ketika pesan, informasi yang dibawa oleh tayangan tersebut justru berisikan konten yang kontraproduktif dalam pembentukan pola pikir yang positif dan diikuti oleh penontonnya. Di saat itulah maka budaya massa terbentuk dan mengarah pada negativisme peradaban.