Rabu, 08 April 2015
Fungsi Ritual Adat Para Zedhe
Reviewed by Esemka
Date 4/08/2015 08:44:00 PM
Label:
artikel
,
kebudayaan
Fungsi Ritual Adat Para Zedhe
Posted by
Esemka
di
4/08/2015 08:44:00 PM
Para Zedhe
Fungsi Ritual Adat “Para Zedhe”
1. Fungsi agama
Masyarakat So’a pada umumnya dan desa Lo’a khususnya sangat menyadari
pentingnya dimensi religius dalam setiap perjamuan. Karena itu pada awal setiap
perjamuan mereka selalu mengunfdang kehadiran wujud tertinggi dan leluhur serta
memohon restu dari pada-Nya, dengan mebawa persembahan, mebuka perjamuan dengan
do’a atau meletakan sesajian di tempat-tempat khusus. Karena hanya pada Yang
Maha Tinggi serta arwah leluhur, mereka dapat menemukan nilai tertinggi dari
kehidupan dan dasar terdalam dari ekistesnsiatau keberadaannya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa upacara adat Para Zedhe merupakan perayaan
yang tentu saja menegaskan aspek religius dari masyarakat desa Lo’a mereka
menyadari bahwa segala sesuatu yang telah mereka terima adalah anugerah dan
berkat dari wujud tertinggi dan leluhur.beberpa hal yang menjadi landasan dasar
religius dalam kegiatan ini adalah setiap proses upacara Para Zedhe mereka
selalu mengundang para leluhur untuk hadir barsama mereka bahkan mereka
meyakini bahwa setiap proses upacara berlangsung ada arwah para leluhur yang
hadir menemani mereka, memberi mereka kekuatan agar tidak salah dalam melakukan
proses dan lain sebagainya. Hal ini juga dilakukan ketika perjamuan makan
bersama dilakukan mereka selalu memberi sesajian kepada nenek moyang dan
membiarkan nenek moyang terlebih dahulu mencicipi makanan yang dikenal dengan
Fedhi ebu atau t’ii ebu ka. Lebih dari pada itu dengan persembahan tersebut,
diciptakan dan dipulihkan kembali suatu keharmonisan hubungan agar tetap
terjaga dan tetap dekat dengan wujud tertinggi sehingga kehidupan manusia tetap
aman santosa.
2. Proses Ritual Adat Adat
“Para Zedhe” Di Desa Lo’a Kecamatan So’a Kabupaten Ngada.
Proses ritual adat Para Zedhe di desa Lo’a di bagi atas beberapa tahap
yang panjang dan membutuhkan waktu yang lama pula. Setiap tahap mempunyai
upacara masing-masing dan semuanya harus dipatuhi oleh setiap peserta ritual
adat Para Zedhe ini. Tahap-tahap yang
harus dilalui dari ritul adat Para Zedhe adalah sebagai berikut:
Pertama: Utu tiwo (kesepakatan bersama) Pada tahap ini warga suku
berkumpul yang dimediasi para mosalaki pada woe (suku) tersebut. Simbol suku
masyarakat desa Loa adalah Ngadhu. Pada Ngadhu terdapat dua bagian yaitu saka
puu dan saka lobo. Sehubungan dengan yang mengerakan atau memediasi pada
kegiatan awal ini adalah saka puu dan saka lobo untuk bermusyawah dengan warga
suku bertempat di “Loka Tua Mata Api”. Loka tua mata api adalah tempat
orang-orang tua berkumpul sambil minum tuak dari nira sambil membicarakan rencana-rencana besar
yang harus dilaksanakan dalam kampung tersebut. Kegiatan ini
dimusyawarakan sebelum acara Para Zedhe.
Upacara Para Zedhe biasa
dilaksanakan dengan tenggang waktu
antara 5-10 tahun. Loka tua mata api
lokasinya di kebun suku dengan pelatarannya
watu lewa (Tugu batu/menhir) dan pondok yang terbuat dari bambu.
Musyawarah mosalaki dan tua-tua adat hanya dilakukan sesekali saja. Lokasi
Loka tua mata api oleh masyarakat desa Loa menganggap sebagai tempat
sakral sehingga jarang masyarakat desa Loa melewati tempat tersebut apalagi
pada siang hari, sore hari dan malam hari. Menurut penuturan tua-tua
adat bahwa loka tua mata api adalah kampungnya leluhur diyakini oleh masyarakat
jika melewati lokasi loka tua mata api maka akan megalami gangguan. Hal ini
juga akan terbawa dalam mimpi seperti dikejar binatang aneh dan melihat para
arwah leluhur yang telah meninggal. Di desa Loa terdapat tiga lokasi
Loka Tua Mata Api pada tempat inilah mosalaki, tua-tua adat dan warga
suku bermusyawarah tentang kegiatan yang akan dilaksanakan oleh warga suku.
Sebelum memulai bermusyawarah mosalaki memotong hewan korban sekcil-kecilnya
ayam atau babi di depan watu lewa. Darah hewan korban direciki pada watu lewa
dan tiang pondok rumah selanjutnya mosalaki mengajak warga suku utuk
bermusawarah, sehubungan dengan kegiatan yang akan dilakukan. Sambil
bermusyawarah ada sekelompok kaum pria memasak nasi bambu dan daging babi.
Suasana musyawarah berlansung dengan penuh kekeluargaan dan keptusannya menjadi
keputusan bersama dilanjutkan dengan makan bersama. Sebelum santap bersama
mosalaki memberikan makan kepada leluhur dalam bahasa setempat dikenal dengan
sebutan tii ebu artinya memberikan makan kepada leluhur bertempat di watu lewa.
Mosalaki mengambil hati babi dan sejumput nasi dan tuak putih, sirih, pinang
dan tembakau diletakan di hadapan watu lewa sambil menuturkan sebagai
berikut:…………………
Pemberian sesjian kepada
nenek moyang yang dilakukan di hadapan watu lewa dengan maksud untuk
menghadirkan arwah nenek moyang dalam setiap pembicaraan dan keputusan yang
diambil serta membiarkan arwah leluhur tersebut mendengarkan pembicaraan
mereka. Kesepakatan bersama mnjadi acuan
dalam melaksanakan ritual Para Zedhe ini.
Kedua: Tata Ngaza atau pendataan nama warga yang akan mengikuti Para
Zedhe. Pendataan nama peserta Para Zedhe bukan hanya kaum lelaki tetapi juga
kaum perempuan juga diikutisertakan. Orang-orang yang terdaftar adalah orang-orang yang merasa dirinya mampu secara ekonomi.
Bagi kaum perempuan harus memenuhi syarat
diantaranya janda yang suaminya minggalkan warisan untuk istri dan anak-anak
juga sudah melewati upacara Dhodho atau Poze Ngi’I dan feka.b Sedangkan bagi
kaum laki-laki ada tiga syarat utama
yaitu jika ia adalah orang asli maka ia harus sudah melakukan upacara Sapu dan
kalau ia berasal dari salah satu suku yang mengharuskan melewati upacara feka
dan jika ia berasal dari luar daerah maka ia akan langsung diterima sebagai
peserta Para. Pada tahap ini juga
dibentuklah panitia panitia para zedhe. Mekanisme pemilihan kepanitiaan
berdasarkan musyawarah mufakat.
Ketiga: Woro Kazu/wela kazu. Pada tahap ini keluarga menyiapkan kayu
bakar yang diambil dari kebun masing-masing selanjutnya di bawah kerumah serta
pelengkapan lain seperti perkakas dapur, bumbu
masak, kopi, gula rokok, tuak putih. Kegiatan ini melibatkan warga suku
dan anggota keluarga.
Keempat: Rego Longa; tahap ini semua padi dan jagung yang sudah dipersiapkan
mulai diambil dari lumbung masing-masing. Rego longa adalah lumbung penyimpanan
padi atau jagung yang terbuat dari bambu dua atau tiga ruas. Semua ana woe mulai megambil padi dan jagung
dari lumbung untuk di tumbuk, dan
dibersihkan oleh keluarga. Suasana gotong royong Nampak kelihatan dalam
partisipasi warga suku untuk menyiapkan perlengkapan pesta para zedhe.
Dituturkan oleh para tua-tua adat bahwa sambil menumbuk padi dan jagung para
warga melantunkan nyanyian dan syair-syair yang memikat kaum ibu sebagai
penghibur dan pelepas lelah. Namun dalam perkembangan dewasa ini dengan
kemajuan imu dan teknologi bukan lagi lesung dan alung yanag dipergunakan untuk
membersihkan padi dan jagung tetapi mesin giling.
Selain padi
dan jagung dipersiapkan oleh keluarga juga hewan korban kerbau. Kerbau sebagai
hewan korban digaja dan dirawat serta diikat di depan atau samping rumah.
Menurut penutura tua – tua adat bahwa kerbau sebagai hewan korban harus sehat
dan tidak cacat. Kerbau yang memenuhi
syarat pada ritual para zedhe adalah kerbau yang tanduknya 50 cm. Penuturan tua-tua adat pada jaman
dahulu peserta para mengorbankan kerbau lebih dari satu ekor, hal ini karena
kerbaua populasiya banyak namun pada zaman sekarang ini karena pertimbangan
ekonomi, maka hanya boleh menyiapkan satu ekor untuk dijadikan kurban dari
setiap peserta Para.
Kelima: Ngango Wae (wela Po’o/
Ope Wae). Ngango wae artinya meninjau lokasi air yang bersih misalnya pada mata
air sedangkan wela po’o/ ope wae artinya memotong bambu yang digunakan untuk
mengisi air. Penuturan tua-tua adat pada zaman dahulu warga suku kususnya kaum
lelaki mempunyai tugas untuk mengambil air pada mata air untuk persiapan pesta.
Namun pada perkembangan dewasa ini dengan kemajuan pembangunan nasional maka
hal seperti ini tidak dilakukan lagi, pada umumnya masyarakat desa Loa telah
memiliki kran air didepan rumahnya sehingga tidak membutuhkan banyak tenaga.
Keenam: Rati T’de. Rati artinya ikat dan T’de artinya pagar. Rati T’de
artinya mengikat pagar. Rati T’de adalah aktivitas para warga suku untuk
menyiapkan pagar yang kuat sebagai pelataran untuk pelaksanaan para zedhe.
Sebaelum pagar dibuat di dahului dengan pemotongan hewan korban biasanya babi
jantan yang ditanggung oleh peserta para. Babi hewan korban disembeli oleh
mosalaki dan mosalaki menuturkan sebagai berikut …………..
Darah hewan
korban direciki pada ngadhu dan bambu kaki pagar.
Darah hewan korban
sebagai symbol kekuatan agar penyelenggaraan para zedhe berjlan dengan baik dan
lancar. Pagar yang dibuat mengelilingi ngadhu bentuknya segi empat. Dapat
disimak pada gambar berikut ini……..
Para
warga suku khusunya laki-laki secara bergotong royong membuat pagar. Waktu yang
dipergunakan untuk mengikat pagar ini bisa mencapai 2-3 hari bahanya berupa
Bambu yang di potong dari loka atau daerah sekitar kampung. Bambu digunakan
sebagai kaki pagar juga diikat secara vertikal, hal ini dengan maksud jika
hewan korban kerbau ditombak kerbau akan lari keliling dan tidak keluar pagar
yang akan membahayakan masyarakat yang menyaksikan atraksi tersebut.
Persyaratan minimal bambu yang diikat atas bawah (Vertikal) adalah lima batang
bambu bulat. Sedangkan jarak lubang untuk bambu yang ditanam dengan bambu yang
lainnya (horizontal) adalah 25-30 cm. pagar di buat sekuat mungkin dan di ikat
dengan tali ijuk secara ketat.
Ketujuh: Pote fare (pemintalan tali). Pemintalan tali didahului
pemotongan hewan korban. Hewan korban yang disembeli adalah ayam jantan putih
didepan ture yang lokasinya pada loka
tua mata api. Tua adat menyampaikan permohonan kepada leluhur agar pemintalan
tali berjalan dengan baik. Darah hewan korban direciki pada ture dan tali ijak
dan bulu ayam. Pekerjaan ini dilakukan oleh warga suku. Dalam upacara ini semua
ana woe dan ana weta akan membawa ayam yang warna bulunya putih untuk di potong
dan diambil bulunya untuk di pintal bersama dengan tali yang bahan bakunya dari
ijuk yang didapatkan dari pohon nira yang terdapat di sekitar loka tua mata
api. Upacara pemintalan ini membutuhkan ijuk yang banyak dan orang yang banyak
pula. kaum wanita dilarang melintasi tempat di mana orang mebuat tali ini.
Selain ayam putih juga beras merah dan babi untuk disembeli dan dimakan bersama
setelah pemintalan selesai. Pemintalan dilakukan secara teliti dan diikat kuat.
Tali ini digunakan untuk mengikat
kerbau pada waktu ditarik di
tengah kampong, hal Ini menjaga agar jangan sampai timbul hal yang bisa
membahayakan nyawa orang kalau saja tali ini terlepas atau putus. Setelah
pemintalan tali selesai tali dibawa ke kampung yang diiringi bunyi gong gendang
dan tariansepanjang jalan. Semua sisa bahan baku harus diangkut semuanya tanpa
ada yang tersisa.
Kedelapan: Tewi manu: yaitu terjadi pada sehari sebelum para
dilaksanakan . dalam kegiatan ini sanak asadara dan handai taulan membawah ayam
untuk para pelaku Para Zedhe. Pada
kesempatan yang sama juga akan dilangsungkan ritual dari ra’a manu dan basa
logo; yang mana ayam yang sudah di potong akan diambil darahnya kemudian
diberikan kepada peserta para agar mereka membasahi tangan dengan darah ayam
tersebut sebagai tanda bahwa mereka telah resmi menjadi peserta Para.
Kesembilan: Kobe Lo Rae: upacara ini terjadi pada malam sebelum para
yang mana upacara ini dimaksudkan untuk menjaga kerbau-kerbau yang akan
dibantai keesokan harinya. Biasanya yang menjaga adalah orang-orang yang
merupakan kerabat dekat dari pemilik kerbau/ peserta para dan bukan dari istri
atau anak-anak dari orang yang membuat acara tersebut. Dituturkan oleh taua-tua
adat bahwa akan terjadi sesuatu yang aneh pada kerbau tersebut. misalnay kerbau
akan mengeluarkan air mata seperti orang yang sedang menangis. Acara ini
dimaksudkan untuk menjaga agar kerbau yag akan dijaiakan hewan korban di masuki
rih jahat. Dan kalau ini sampai terjadi, maka harus segera memanggil orang
pintar (mori mali/dukun) untuk melakukan pemulihan. Semua orang yang menjaga
harus tidak boleh tidur dengan membuat membuat api unggun di depan kerbau
sambil melantunkan pantun-pantun yang berisikan keberanian atau syair yang
menghina hewan ini. Lantunan syair-syair dapat disimak berikut ini:
lo rae :
“e… oa, , tolo kau ra’a mara bisa bara dia kisa nata e…”!
“e… oa, tolo kau”
Syair di atas adalah sebuah
syair olokan bagi kerbau karena darah kerbau yang akan menyirami seluruh
kampung keesokan harinya adalah sebuah berkah dan rejeki bagi pemiliknya.
Darahnya yang segar itu adalah petanda bahwa kerbau adalah pahlawan besar yang
merelakan dirinya untuk menjadi kurban dari upacara ini. Pada amalam aharinya
penjaga kerbau menghiasi badan kerbau dengan tulisan atau pernak-pernik yang
banyak. Tulisan pada badan kerbau biasanya menunjukan identitas nama suku atau
nama orang dari pemilik kerbau yaitu peserta para. Di samping itu mereka juga
harus merotan badan kerbau atau menyiksanya dengan duri daun pandan agar
kelihatan lebih berani dan jantan serta tidak takut pada orang-orang yang
banyak. Kerbau yang sudah di persiapkan ini biasanya sudah diikat pada pohon
atau bambu yang ditanam rapat pada lehernya seperti di paron.
Kesepuluh: Leza Para. upacara ini
dilakukan pagi hari menjelang Para yang dibagi dua bagian yaitu(1) Bua laba:
adalah upacara tarian Zai laba bua yang unik yaitu dengan diiringi bunyi gendang dan rogo
(kentongan). Semua peserta Para sudah berpakaian adat lengkap dengan semua
pernak-perniknya. Dalam tarian ini gerakan yang dilakukan oleh peserta Para
Zedhe lebih cepat dan lebih meriah. Dilanjutkan dengan Ka saka P’te: setelah
berlangsungnya upacara laba bua, maka tahap berikutnya adalah ka saka p’te, di mana pada upacara ini semua peserta
Para Zedhe melakukan upacara perjamuan makan bersama. Semua peserta upacara
dibagi atas tiga kelompok untuk makan dengan mengelilingi Ngadu yang terdiri
atas tiga bagian yakni ngadu paling ujung Timur , Tengah dan Barat yang
masing-masing diberi nama: Ngadu ene (mama) di timur, Ngadu ema (bapak) di
tengah yang ukurannya paling besar dan Ngadu ana (anak) di bagian Barat. Ritual
perjamuan bersama ini adalah mengundang para leluhur agar senantiasa hadir
menemani semua peserta para dalam kegiatan selanjutnya yang sangat di nantikan
yaitu Para Zedhe. Sebelum semua peserta para makan yang terlebih dahulu
dilakukan adalah memberi makan nenek moyang di masing-masing Ngadu tersebut
dengan mengucapkan doa-doa sebagai berikut…………………………
Kesebelas: Para Zedhe. Para Zedhe adalah puncak ucapara dengan
tahap-tahap sebagai berikut: Wi Fare Bhada, Sa Ngaza dan Sa Bhea:. Ketiga
bagian di atas dilakukan secara berurutan dari setiap pelaku para zedhe. Wi
Fare Bhada adalah upacara menarik tali kerbau dari rumah pemilik menuju tempat
upacara. Penarikan tali kerbau dilakukan oleh kerabat keluarga yang dekat dan
kerabat yang jauh. Kerabat yang dekat memegang tali kerbau yang dekata dengan
mulut kerbau dan kerabat yang jauh memegang tali kerbau bagian ujung. Urutan pembantai kerbau secara berurutan
dimulai dari saka puu, saka lobo, lado,
taka (taka watu), toa, wela, radhi, laba yang berjumlah 12 orang dan yang
terakhir adalah masyarakat biasa. Saka pu’u adalah orang yang sejak leluhurnya
menduduki tempat di bagian pangkal Ngadu, begitu juga dengan saka lobo adalah
orang yang menempati ujung gadhu.
Setelah kerbau korban sudah masuk dalam pelataran ritual diringi dengan
gong gendang selanjutnya tali kerbau adiikat pada Ngadu. Selanjutnya pemilik
kerbau korban melakukan sa (sapaan) yang dalam bahasa Soa dikenal dengan Sa Ngaza sebagai berikut:
“O… Adhi de ga’e……!
Ga’e lau mala, lau mala Adhi wi siba na’a dia kisa nata.”
Artinya adalah pelaku para adalah orang besar dalam kampung ia sudah membuktikan kebesarannya dengan
membawa kerbau yang ada diladang ke tengah kampung sebagai kurban untuk leluhur
dan dewa zeta.
Setelah sa ngaza selesai dilanjutkan dengan Sa Bhea artinya menuturkan
keturunan. Yang dituturkan hanya dari keturunan pihak ibu sampai pada lapis
keempat yaitu dimulai dari Ughe, Ura, Suli dan Ma yang kesemuanya hanya dari
pihak ibu (perempuan) saja. Ughe adalah ibu dari orang yang melakukan Para
Zedhe, Ura adalah nenek dari pembuat acara Para Zedhe, Suli merupakan ibu dari
Ura atau nenek dari ibu (Ughe) pembuat acara Para Zedhe dan Ma adalah ibu dari
Suli di atas. Jika pembuat para zedhe dalam sa (sapaan) melupakan atau tidak
menyebutkan keturunan yang sebenarnya maka sa (sapaan) dilakukan atau diulangi
lagi sesuai dengan keturunannya. Sanak saudara yang disebutkan namanya dalam
upacara ini, mereka akan merasa bangga dan penghargaan karena mereka akan
dikenal oleh masyarakat, hal ini menyangkut dengan status dan kedudukan mereka
dalam masyarakat. Rasa bangga dan penghargaan yang diberikan sanak saudara yang
disebutkan namanya merasa berutang budi, dan menyerahkan kuda, sapi, ayam,
tuak, anggur kepada pembuat acara Para
Zedhe. Sebagai balasan pembuat acara para zedhe memberikan daging kerbau atau
daging babi.
Penuturan tua-tua adat
dalam Sa Bhea untuk keturunan Ughe sebagai berikut: Ana keo, Anakeo, Ana keo.
Yo Sa. Laba…(gong gendang di bunyikan diiringi dengan tarian laba para).
Setelah tarian selesai dilanjutkan dengan Ka’e Za’o Adhi o…………Ana Keo, Za’o Bai, O... Ana Keo.Keo hoga
Lo’a, Hoga Sengi. Hoga Sengi, Sengi mama teme, Nika dhano wei Mama, Uta Dhano
wei Mama. Artinya kami berasal dari suku
Senggi uklet bekerja kebun dan memelihara hewan.
Ungkapan diatas mengidikasikan bahwa suku sengi adalah suku yang ulet
untuk membawah nama suku agar tetap dikenang maka warga suku harus rajin bekerja diladang dan memelihara
ternak yang banyak untuk menghidupi anak cucu.
Laba…………(gong gendang di bunyikan lagi diiringi dengan tarian laba
para). Lebih lanjut Sa Bhea untuk Ma (keturunan ibu) sebagai berkut:
Ma ……Sasa……
Sasa wolo lewa, de nga no’o bata zili………
De fiki na’a dhiri, lina pia kisa, bule hajo tau nenu ngia.
Zele Nango Lado, Nango no’o Soa Lado
Napa de woso kappa, pe’e baga wei moe bhada
Laba………
Artinya keturunan dari Nango lado dan Soa Lado tidak boleh mengambil
istri dari keturunan yang membuat apara, tetapi harus sebaliknya dilanjutkan
dengan penyerahan warisan seperti tanah
kepada anak-anaknya bertempat di tengah kampung disaksikan oleh warga
suku dan masyarakat. Tanah yang dibagikan
adalah tanah milik orang tuanya sedangkan tanah milik suku, tanah yang masih sengketa dan tanah sakral
seperti loka tua dan loka tua mata api menjadi milik suku dan tidak dibagikan
kepada anak-anak. Biasanya batas tanah yang diberikan secara adat ini hanya
berupa batas alam seperti kali, pohon besar, batu ataupun tanda-tanda lainnya
yang bisa bertahan lama. Tidak seperti saat ini yang sudah menggunakan pilar.
Pembagian tanah oleh orang tua atau orang yang melakukan acara ini sudah
dipertimbangkan secara matang. Anak lelakinya sebagai ahli waris, yang dijuluki
sebagai Mosa Uma karena merekalah yang berhak atau berkuasa atas tanah yang
diwariskan. Setiap anaknya harus menaati
semua warisan yang sudah dibagikan ini dan mengerjakan lahan yang sudah
dibagikan ini tanpa ada rasa iri hati diantara mereaka kalau ada saudara
lainnya yang mendapatkan lahan lebih besar. Pemberian warisan tanah dialakauan
sa Ngasa oleh orang tuanya sebagai beriut:
Ana Za’o Fra Mosa uma, mosa zili tde zie
Riwu Nga dheke zaza Zala,Wole Mama Moe Eko Zara
Su’u Sa’a Su’u Sa’a, Ulu Nenga laza-Laza, wi Ngata Wei Zara, Logo Zara
No Bhaka
Laba………
Artinya bahwa warisan yang diberikan kepada anak Frans yang berlokasi di
T’de Zie (nama tempat/kebun). Bekerjalah dengan rajin dan ulet dikebun itu,
bulir padi berisi dan panjang seperti ekor kuda, jika ada warga yang lewat akan
mengagumi saudarah. Panenan berlimpah diangkut dengan kuda dan kudanya pun
sampai terluka karena beban yang di pikul terlalu berat.
Selain anak laki-laki
juga anak perempuanpun akan dialakukan Sa Ngaza yang dijuluki Mosa Ngesu Karena
pada sistem patrilinel perempuan tidak mendapatakan warisan, maka Sa Ngaza yang
diberikan tidak berupa harta warisan tetapi berupa pujian atas kerja yang ia
lakukan. Mosa Ngesu menandakan bahwa ia (anak gadisnya) berkuasa dan mempunyai
kewajiban di dalam mengatur rumah tangga, masak mengurus suami dan anak-anak
dan mengabdi seutuhnya pada suami. Lebih dari itu haknya sebagai perempuan dan
kelihaiannya dalam mengatur rumah harus diakui oleh saudara-saudara mereka.
Sa Bhea yang di berikan
kepada anak gadis oleh pelaku Para Zedhe:
Ana Za’o Tri, Mosa Ngesu
Gazo Wazu, Gazo Wazu Sai Dhu Lei Maru.
Tebhi Sea, Tebhi Sea Sai Dhu Lei Gea
Arti dari Sa di atas adalah pembuat acara Para Zedhe mengagungkan
anaknya yang bernama Tris. Ia bekerja
siang dan malam hanya demi kelangsungan hidup mereka. Pekerjaannya adalah suatu
pekerjaan yang biasa dilakukan perempuan yang di mulai dari menapis beras dan
membersihkan ampasnya kemudian memasaknya.
Pada upacara Para ini senua
penonton berdiri diluar pagar atau memanjati pagar agar bisa melihatnya lebih
jelas. Setelah Sa selesai, maka kerbau yang sudah di ikat pada Ngadu pun mulai
di tikam dengan parang atau tombak. Orang yang menikam ini boleh orang dari
luar yang dijuluki Wunu Bheto Guru dan putra dari kampung itu sendiri atau Ana
Tana. Syarat bagi para punggawa ini adalah pemberani, cekatan, gesit dan tidak
melepaskan tombak atau parangnya saat mengenai badan kerbau.
Upacara pembantaian kerbau
ini berlangsung secara berurutan sesuai dengan aturan adat yang ada. Ketika
kerbau ditombak kerbau akan berlari mengintari dalam pagar yang sudah
dipersiapkan sebelumya. Jika kerbau berhenti penonton bersorak agar kerbau berlari kembali. Para
penombak berdiri di ujung barat dan timur. Kerbau akan berlari sekuat tenaga
sampai tali yang mengikatnya sudah rentang. Ada juga kerbau yang karena terlalu
kencang berlari bisa terjatuh, kesempatan bagi para penombak untuk melukainya.
Pembunuhan yang sadis terhadap hewan ini akan berlangsung terus sampai darahnya
mulai menyirami seluruh area pembantaian ketika kerbau sudah tidak berdaya,
maka di potong pada kedua lutut kaki bagian belakang dengan parang setelah itu kerbau
di tarik keluar tempat upacara menuju rumah pemilik kerbau dengan tali yang
masih terikat. Pada jaman sebelumnya biasanya kerbau dibiarkan begitu saja di
tengah kampung sampai kerbau yang paling akhir terbunuh baru di tarik keluar
arena menuju rumah pemilik kerbau untuk di potong.
Keduabelas: T’ge ulu Bhada: adalah tahap akhir dari kegiatan Para Zedhe.
Setelah semua daging kerbau dimasak atau dibagikan kepada semua anggota suku
atau anggota keluarga, maka selanjutnya dilakukan upacara tge ulu bhada (kepala
kerbau) pada saat itu ditenda yang sudah disediakan. Mori para meletakan kepala
beserta tanduknya sambil mengucapkan kata “Kau Sei”? (siapakah kamu?), setelah
itu seorang yang ditugaskan untuk menerima kepala yang berada di atas tenda
menjawab ”Za’o tadu Wegu” (saya adalah tadu wegu”). Ucapan ini untuk
mengingatkan orang kepada tadu wegu yaitu kerbau yang pertama kali datang ke
So’a yang kemudian oleh beberapa orang yang pada waktu itu belum mengenal
kerbau menolaknya ke sungai yang kemudian di bawa air menuju Rawe (daerah
Kabupaten Nagekeo sekarang) di sana orang Rawe memeliharanya yang kemudian
berkembang biak menjadi banyak. Oleh karena itu sebagai penghargaan dan untuk
mneghormati binatang ini maka mereka selalu mengingatkannya pada setiap penyimpanan
kepala kerbau ini, sehingga arwah dari hewan ini senatiasa tidak murka.
2. Fungsi sosial
Upacara Para Zedhe dilakukan dengan menghimpun seluruh keluarga besar
dan semua anggota suku yang merupakan lambang persatuan dan persaudaraan antara
manusia dan sesamanya. Semua yang datang mengambil bagian dari upacara ini di
himpun menjadi satu keluarga besar. Semua berpartisipasi dalam setiap kegiatan
yang sudah diatur sebelumnya. Kegiatan sosial yang tidak ternilai harganya dan
menjadi sangat berarti ketika semua anggota keluarga tersebut mulai menunjukan
solidaritasnya terhadap sesama manusia dengan caranya masing-masing.
Di tinjau dari aspek sosial ternyata ritual adat Para Zedhe mmepunyai
dampak yang sangat besar dalam kehidupan bermasyarakat. Ritual yang selalu
diakhiri dengan perjamuan makan bersama bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan
jasmaniah semata tetapi lebih dari itu yaitu mempunyai nilai dan fungsi sosial
di mana orang yang membuat acara ini (mori para), merasa bahwa sesungguhnya
masih banyak orang yang kebutuhan akan pangannya tidak tepenuhi setiap saat.
Karena itu yang merasa berlebihan harus
mengupayakannya agar semua yang merasa kekurangan itu merasakan juga seperti
yang ia rasakan. Hal lain lagi yang bernilai sosial bahwa dengan adanya upacara
ini semua yang telah terhimpun merasakan sendiri indahnya hidup dalam
kebersamaan yang memang sudah lama di lakukan oleh para nenek moyang dahulu
agar tetap di pertahankan.
Istilah ‘Ngeta ngata ge ngia,
Mami kita nenga ka” adalah sebuah istilah yang mempunyai maksud penyatuan
sosial yang sangat dalam yang mana sesungguhnya segala seuatu yang siap untuk
dihidangkan, maka setiap kita berkenan untuk menikmatinya secara bersama-sama
dan dalam suasana keluarga.
3. Fungsi Pendidikan
Fungsi pendidikan dalam setiap upacara adat tentu sangatlah penting, di
mana nilai pendidikan yang ada akan mendidik seseorang agar menjadi lebih baik
dan menjadi tempat belajar bagi yang membutuhkannya.
Fungsi pendidikan dalam upacara adat Para Zedhe ternyata berdampak
sangat luas. Apa yang dilkukan orang tuanya (pembuat acara para zedhe) akan
meberikan contoh moral kepada anak anak mereka misalnya mengambil istri yang
ada hubungan darah terutama di bawah lapis keempat akan berakibat buruk kepada
aak-anak mereka suatu saat nanti. Pembagian harta warisan yang dilakukan adalah
contoh didikan yang baik kepada anak-anak mereka sehingga suatu saat nanti
tidak menyisakan hal yang buruk terhadap anak-anak mereka sepeninggal dia.
Apabila ini tidak dilakaukan, maka bisa saja terjadi kekacauan pada keluarga
mereka sendiri dimana perebutan harta warisan antar saudara bisa terjadi.
Didikan yang baik juga didapat dari kebaikan terhadap sesama anggota
keluarga agar bisa saling menghargai apa yang sudah diberikan oleh orang tua
dan menjaga serta menganggap harta warisan tu sebagai emas yang akan
mendatangkan hasil yang banyak kalau dikerjakan dengan baik dan tanpa kenal
lelah.
Hal lain yang juga merupakan aspek pendidikan kepada generasi penerus
adalah tindakan yang dilakukan orang-orang tua yang menjaga hubungan yang baik
dengan orang lain akan mendatangkan hal yang baik dan membawa berkah bagi diri
kita sendiri, ini dilakukan dengan cara membagikan makan dan minum kepada semua
yang hadir dengan adil tanpa memandang bulu. Setiap yang hadir akan merasakan
sesuatu yang kita berikan tersebut dan mereka akan selalu mengingatkan kita di
manapun kita berada.
Terimakasih Anda telah membaca tulisan / artikel di atas yang berjudul : Fungsi Ritual Adat Para Zedhe jangan lupa komen dan berbagi :)
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar