Minggu, 31 Januari 2016
Makalah Analisis Film Dokumenter Senyap (The Act of Killing)
Reviewed by Esemka
Date 1/31/2016 09:14:00 AM
Label:
analisis
,
Estetika
,
film
,
makalah
,
tugas
,
umum
Makalah Analisis Film Dokumenter Senyap (The Act of Killing)
Posted by
Esemka
di
1/31/2016 09:14:00 AM
Kata pengantar
Allhamdulillah
puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT., atas karunia-Nya penulisan
tugas makalah wah ini kesalahan fatal :v “Televisi Dan
Kebudayaan Indonesia” ini dapat diselesaikan dengan tepat waktu. Pada dasarnya
penulisan laporan makalah ini adalah salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh
mahasiswa program studi D4 film dan televisi ISBI Bandung untuk menyelesaikan
tugas ujian akhir semester mata kuliah teknologi media.
Dalam
kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada
1.
Allah
SWT.
2.
Bapa
Syamsul Barry, S.Sn., M.Hum.selaku dosen mata kuliah teknologi media .
3.
Kepada
seluruh informan. Tanpa mereka penulis tidak bisa membuat tulisan ini
4. Kepada keluarga penulis. Terutama kedua orang tua
penulis tercinta.
Penulis menyadari bahwa makalah “Televisi
Dan Kebudayaan Indonesia” ini tidak terlepas
dari kekurangan dan kesalahan, oleh karena itu segala kritik dan saran yang bersifat
membangun dari semua pihak sangat diharapkan. Semoga laporan makalah ini
bermanfaat dan dapat menambah pengetahuan khususnya bagi penulis dan pada
umumnya bagi pembaca.
Bandung, 28 Januari
2016
Penulis
Fathurrahman Maulana S
Daftar isi
Kata pengantar. 1
Daftar isi 2
Prolog. 4
1.1 Latar Belakang. 4
1.2 Isi Cerita. 6
Bab 2. 8
Penjabaran Film.. 8
2.1 Kritisi Isi
Konten Film 8
Bab 3. 13
Epilog. 13
3.1 Kesimpulan. 13
Daftar Pustaka. 14
Bab I
Prolog
( Gambar 1.1 poster film Senyap)
1.1 Latar
Belakang
Senyap
(2014) adalah lanjutan film dokumenter Jagal (2012) yang populer beberapa tahun
lalu dan mendapat banyak pujian. Dikabarkan tahun ini masuk salah satu nominasi
Oscar. Joshua Oppenheimer, dan juga salah
satu sutradaranya, bahkan meraih penghargaan MacArthur ‘Genius Grant’.
Pendekatan yang dipakai dalam dua film yang sama-sama mengangkat soal peristiwa
1965 itu dianggap spektakuler dalam film dokumenter. Di Jagal, penonton
langsung berhadapan dengan para algojo yang membunuh ribuan orang yang dianggap
terkait dengan Partai Komunis Indonesia saat itu. Anwar Congo, karakter utama
film ini, adalah salah satu pembunuh tersebut. Sementara di Senyap, sutradara
dengan pintar menggunakan seorang tukang kacamata keliling bernama Adi.
Kakaknya, Ramli, adalah salah satu korban yang terbunuh dalam peristiwa itu .Menurut
saya, film yang bagus itu film yang dapat membuat saya berpikir melebihi tema
film tersebut. Selain dengan alur cerita secara menarik tetapi juga membuat orang
yang menonton berdiskusi tentang tema film itu sendiri. Dan karena menurut saya
film ini sangat menarik maka saya memilih film ini selain itu juga banyak
mendapakan respon dari berbagai penjuru dan juga masuk banyak nominasi dan
mendapatkan penghargaan di berbagai negara .Pada website IMDB ratting film
Senyap yang bagus yaitu 8.4/10 dan mendapat 154 kritik juga 12 reviews
Film dokumenter Senyap terkenal kontroversinya banyak yang menolak saat penayangan secara serentak
se-Indonesia . Di beberapa
daerah, sejumlah pihak melarang pemutaran Senyap. Di Malang saja,
misalnya, Rektor Universitas Brawijaya melarang pemutaran film itu di
kampusnya. Sekelompok organisasi kemasyarakatan yang menamakan diri Pribumi pun
membubarkan pemutaran di Warung Kelir, Jalan Panglima Sudirman, Malang.
Di Yogyakarta, rencana pemutaran film Senyap di
kantor Aliansi Jurnalis Independen pun batal. Kepolisian Resor Kota Yogyakarta
mendesak pemutaran dibatalkan karena menganggap penyelenggara tak mampu
menjamin keselamatan penonton. Sebelum pemutaran berlangsung, sebuah ormas yang
menamakan diri Forum Umat Islam DIY menebar ancaman akan membubarkan pemutaran
film itu. Ya memang menurut saya pasti kebanyakan
orang akan penasaran bagaimana film ini .
1.2 Isi Cerita
Adalah Adi laki –
laki paruh baya, seorang PUJAKESUMA (Putra Jawa Kelahiran Sumatera), yang
merupakan adik dari seorang kakak yang terbunuh pasca kejadian G30SPKI Yaitu
Ramdi. Kakaknya ini dituduh terlibat gerakan Komunis di masa keadaan indonesia
masih belum seperti saat ini. Kenangan kelam masa lalu ini yang kemudian
membawa Adi pada sebuah pencarian. Ia lantas berkeliling ke daerah dimana
dahulu kakaknya terbunuh yaitu di sekitar Kabupaten Deli Serdang, Sumatera
Utara. Sebari memeriksa pengelihatan pelanggan kacamatanya. Tampak jelas
digambarkan di film dokumenter ini bahwa yang dicari Adi hanya sesuatu yang
sederhana, sebuah kata, Maaf, dari orang – orang yang dulu terlibat dan
bertanggung jawab atas kematian Kakaknya. Beberapa kali adegan memperlihatkan
ketika Adi menemui sang mantan ‘Penjagal’ ia hanya ‘memancing’ cerita tentang
apa yang dahulu mereka lakukan yang kemudian ia akhiri dengan sebuah pengakuan
bahwa dirinya adalah adik dari salah seorang korban, lalu ia diam, tanpa
menuntut apa – apa secara eksplisit kepada sang mantan ‘Penjagal’, yang
kemudian mendapat respon beragam dari sang mantan – mantan ‘Penjagal’ itu.
Mulai dari yang mengusirnya hingga yang memarahinya dan mengancamnyaa. “Tampak
jelas digambarkan di film dokumenter ini bahwa yang dicari Adi hanya sesuatu
yang sederhana, sebuah kata, Maaf.” Adi biasanya akan pamit dengan amarah yang
ia lipat rapi. Seakan akan ia mengharapkan sesal berkepanjangan, tetapi bahkan
secuil permintaan maaf pun tak berhasil dibawanya pulang. Memang sesekali kata
maaf dilemparkan ke muka Adi. Tetapi itu tidak datang dari pelaku, melainkan
dari anak perempuan atau istrinya yang kemungkinan melontarkannya karena
pertanyaan-pertanyaan Adi sudah membuat suasana jadi tidak kondusif dan tidak
membuat nyaman.
Bab 2
Penjabaran Film
2.1 Kritisi Isi Konten Film Senyap
Apa tujuan Joshua Oppenheimer membuat The Look of Silence alias Senyap yang
menelusuri kisah di balik pembantaian "anggota PKI"? Bukankah ia
sudah mengeksplorasi begitu banyak hal lewat The Act of Killing? Perlukah film
itu dibuat sekuelnya? Berbagai pertanyaan yang berputar di benak saya itu
seketika menghilang setelah selesai menonton filmnya. Kedua film Oppenheimer
itu ternyata merupakan satu kesatuan yang saling melengkapi. The Act of Killing
ibarat pembuka yang memaparkan kenyataan-kenyataan mencengangkan pada penonton
sambil disaat bersamaan mengajak berkenalan pada sosok Anwar Congo melihat dari
sudut pandang sang penjagal. Kita diajak masuk ke dalam isi pikiran Anwar Congo,
dan mulai diajak memahami bahkan bisa jadi turut bersimpati padanya. Sedangkan
The Look of Silence mengambil sudut pandang yang bertolak belakang dengan
keluarga korban pembantaian sebagai fokus utamanya. Sosok utama dalam film ini
adalah Adi, pria berusia 44 tahun yang kakaknya, Ramli merupakan salah satu
korban pembantaian tahun 1965 karena dituduh sebagai anggota PKI.
Secara teknis, pengemasan sutradaranya masih menyuguhkan sisi lain dibalik
tragedi, bedanya kali ini sisi lain itu penuh dengan kesunyian. Tanpa musik
tentu saja, dan ada begitu banyak adegan bisu yang tidak menampilkan apapun
kecuali gambar diam selama beberapa detik. Film ini juga lebih banyak
memperlihatkan ekspresi seseorang daripada objek yang sedang ia lihat, atau
menjadi fokus pembicaraan. Sebagai contoh di awal film saat Adi sedang menonton
rekaman seorang pelaku pembantaian yang meragakan aksi pembunuhannya, kamera lebih
sering memilih memperlihatkan ekspresi Adi daripada rekaman tersebut. Tujuannya
jelas, mungkin untuk menelusuri lebih dalam perasaan Adi, dan mentransfer emosi
itu kepada penonton. Pernahkah anda berpikir akan melihat seorang pembunuh
duduk berhadapan dengan keluarga korban lalu membicarakan tentang kasus
pembunuhan itu? Setiap perbincangan yang terjadi antara Adi dan pembunuh
kakaknya hadir dalam intensitas luar biasa. Keberadaan kamera dan proses
pembuatan film itu sendiri membuat hampir tidak mungkin bagi kedua belah pihak
untuk meluapkan semua emosinya apalagi sampai bermain fisik. Tentu saja ada
letupan-letupan emosi tapi mayoritas yang muncul di layar adalah momen diam,
tapi dalam kediaman itu saya bisa merasakan adanya gejolak dalam perasaan
mereka. Karena sejarah yang tertulis dan terucap sangat bisa direkayasa, maka sepertinya
sutradara berusaha menangkap segala kesunyian dan kebisuan ini. Karena pada
saat senyap inilah kebenaran hakiki yang bersumber dari perasaan terpendam
manusia bisa kita observasi dan rasakan,
Ramli nama yang tidak asing apabila dihubungkan dengan sejarah PKI, Kisah
tentang Ramli sendiri katanya merupakan salah satu yang paling
"fenomenal" karena kesadisan yang ia alami sebelum akhirnya dibunuh.
Pada malam pembantaian Ramli sudah sempat dilukai, ditusuk, bahkan konon isi
dalam perutnya sudah terburai. Tapi sebelum sempat dibunuh ia kabur dan pulang
ke rumah sebelum akhirnya "dijemput" oleh para pembunuhnya dengan
alasan akan dibawa ke rumah sakit. Tapi pada kenyataannya Ramli dibawa ke truk,
dipotong alat kelaminnya, lalu dibunuh. Bagi sang ibu, sangat berat menjalani
hari-harinya tinggal berdampingan dengan pembunuh anaknya. Lebih menyakitkan
lagi, para pembunuh itu kini mendapat pangkat dan kedudukan tinggi sebagai
bentuk penghargaan atas "jasa" mereka dulu, dan seperti yang sudah
kita tahu lewat The Act of Killing kebanyakan dari mereka tidak menyesal,
bahkan bangga karena merasa telah berjuang demi Indonesia. Adi pun memutuskan
untuk mendatangi satu per satu dari mereka untuk kemudian mengajukan berbagai
pertanyaan terkait perbuatan mereka di masa lalu.
Mulai dari seorang wanita yang sudah berumur sebari memeriksa dan
memasangkan alat untuk tes pembuatan kacamatanya, Adi bertanya tentang
seputaran peritiswa itu namun pada akhirnya karena pertanyaan itu Adi
meberhentikannya karena melihat wanita itu yang sepertinya agak risih dengan
beberapa pertanyaan yang diajukan Adi.
Selain keluara si pembunuh kakanya juga adi mendatangi rumah pamannya. Perhatikan
bagaimana Adi memaksa pamannya secara tidak langsung untuk mengaku terlibat
secara tidak langsung dalam pembunuhan Ramli, juga bagaimana Adi protes kepada
pamannya karena tidak menyelamatkan Ramli. Pengadeganan itu melupakan fakta
betapa tidak biasanya situasi yang terjadi pada saat itu, ketika semua orang
dihadapkan pada pilihan sulit antara dibunuh atau membunuh, ketika seorang adik
bisa mengkhianati kakaknya, seorang istri bisa mengkhianati suaminya, dan
seterusnya demi menyelamatkan diri. Seolah-olah sang paman punya kuasa lebih
untuk menyelamatkan Ramli, di saat keselamatannya sendiri barangkali juga terancam.
Berlanjut saat Adi mendatangi si rumah pembunuh kakanya yang lain,
alih-alih mendapat resep untuk kesehatan matanya, ia malah mencecar dengan
pertanyaan dari Adi. Pada sebuah keluarga yang terdiri dari seorang bapak yang
sudah tampak linglung, dan seorang anak perempuannya, perhatikan bagaimana Adi
mendramatisir adegan itu dengan cerita betapa si bapak meminum darah korban yang
dibunuhnya supaya tidak gila. Juga ketika Adi bertanya kepada si anak
perempuan, tentang bagaimana perasaannya saat tahu bapaknya membunuh orang lalu
meminum darahnya. Gaya yang diperlihatkan Adi mengingatkan saya pada reporter
stasiun-stasiun TV di Indonesia ketika meliput sebuah peristiwa bencana, yang
selalu mencecar korban dengan pertanyaan “Bagaimana perasaan Ibu?”, sembari
kamera bergerak zoom-in, berharap si narasumber menangis demi mendapatkan efek
dramatis mungkin.Katany adegan ini dianggap paling menyentuh dari Senyap, dan
dijadikan sebagai contoh usaha rekonsiliasi.
Menurut saya puncak pada film Senyap terjadi saat Adi mengunjungi keluarga
terakhir di film itu. Karena si bapak yang menjadi pembunuh sudah meninggal
dunia, yang ditemui adalah sang istri yang sedang sakit, dan anaknya yang
tampaknya tidak tahu apa-apa. Dengan keterbukaan keluarga itu menerima sutradara
beserta kru ke rumahnya, dan kesediaan mereka untuk difilmkan nyata-nyata
ternodai oleh tingkah laku si sutradara sepertinya tidak perlu dilakukan.
Perhatikan bagaimana adegan itu kemudian dimulai dengan menampilkan satu video,
yang saya duga dari wawancara film sebelumnya . Tak hanya kelihatan bangga saat
diwawancara, si bapak pembunuh itu membuat dan bahkan menunjukkan daftar
orang-orang yang berhasil dibunuhnya beserta cerita bagaimana saat kejadian itu
dalam sebuah buku. Di video itu terlihat juga istrinya, yang tampak berdiri
ceria di sampingnya. Adegan ini mengingatkan kita pada polah orang-orang biasa
di depan kamera: riang, lugu, terbuka, ‘pengen masuk TV’, tanpa tahu sedikit
pun soal agenda orang yang merekamnya.
Kemudian adegan berpindah ke masa kini, ketika sang istri diwawancarai
secara intimidatif oleh Adi yang hadir ke rumah itu, entah dengan alasan
sebagai apa, sebab tidak ada anggota keluarga yang punya masalah dengan mata,
Ditunjukkanlah video tersebut entah demi efek dramatis, seolah ingin mengatakan
“suamimu pembunuh, bapakmu pembunuh, dosanya harus kamu tanggung.” Saat
keluarga pembunuh tersebut merasa tidak nyaman, bahkan meminta wawancara itu
dihentikan, alih-alih menenangkan keadaan, salah satu sutradara dengan bahasa
Indonesia beraksen Amerika (Joshua) malah ingin menunjukkan satu video lagi.
Tampaknya si sutradara hanya ingin menambah dramatis suasana dengan memojokkan
keluarga itu. Di situlah puncak ketidaknyamanan saya sebagai penonton. Senyap
menjelma sebuah film yang mungkin berhasil memberi stigma pada
keluarga-keluarga pembunuh tersebut, semacam stempel keras bahwa mereka “anak
pembunuh”.
Setelah percakapan demi percakapan yang tak membuahkan hasil, menjelang
akhir film kita diantarkan pada sebuah adegan yang demikian ganjilnya.
Sebelumnya, Rukun, ayah Adi yang sudah sangat sepuh itu ditanya oleh istrinya
perihal Ramli, anak sulungnya yang dibantai waktu ’65. Ia sudah tak ingat lagi:
“Ramli siapa ya?” Menjelang akhir film, ia diperlihatkan tengah berada di
sebuah ruangan tempat menjemur pakaian. Dengan penglihatannya yang rabun, ia
seperti tengah menduga-duga di manakah ia berada. Tanpa kursi roda, kakinya
yang telah lumpuh memaksanya untuk merangkak terseok-seok mengitari ruangan
mencari jalan keluar. Saat kepalanya menyapu baju-baju yang sedang tergantung
di ruas-ruas jemuran, ia pun tambah panik. Dipikirnya ia telah melewati kelambu
kamar rumah orang lain. Ia pun makin menyeru-nyeru: “Tolong! Tolong aku! Aku di
mana? Ini kamar orang, nanti kalau ketahuan aku bisa dipukuli. Ampun! Tolong!
Tolong!” Terseok-seoklah ia berkeliling kamar jemuran itu sambil mengaduh dan
minta pertolongan. Adegan ini seperti memperlihatkan bagaimana Rukun secara
tanpa sadar menubuhkan ingatan tentang pembantaian anak sulungnya. Seperti
Ramli yang lari terseok-seok ke rumah bapaknya dengan usus sedikit terburai,
mengaduh dan memanggil ibunya, hanya untuk terdiam beberapa minta dibuatkan
kopi saat di rumah sebelum akhirnya dibawa pergi di atas truk ABRI, kini sang
bapak terseok-seok mengitari kamar di bawah ketakutan telah melanggar kamar
orang lain, tanpa menyadari bahwa kamar itu adalah rumahnya sendiri. Adegan itu
begitu sureal, begitu ganjil dan ngeri.
Bab 3
Epilog
3.1 Kesimpulan
Penonton yang sudah memiliki latar belakang pengetahuan tentang tragedi
1965 bisa dengan mudah memahami film ini, tetapi bagaimana dengan orang yang
tidak punya cukup referensi? Saya ragu Senyap berhasil menyajikan sejarah
dengan jernih tapi saya sendiri pun tidak tahu manakah sejarah yang “benar”.
Saya tidak sedang membela salah satu pihak yang terlibat dalam pembunuhan
massal tahun 1965. Saya percaya bahwa kita harus terus diskusi persoalan ini
dalam film, sastra, atau apapun. Namun saya juga percaya bahwa untuk
membicarakannya kita perlu cara yang lebih elegan , untuk membedakan kita
dengan yang kita tuduh sebagai penjahat HAM. Saya jadi teringat sebuah
pernyataan yang bilang, “Sejarah adalah milik pemenang perang”, yang menurut
saya itu salah. Sejarah seharusnya adalah milik ‘Sang Kebenaran’. Tapi siapa
kah itu ‘Sang Kebenaran’? apakah ia si ‘Pemenang Perang’?.
Daftar Pustaka
·
http://www.imdb*com/title/tt3521134/ Diakses tanggal 25 Januari 2016
·
http://www.jakartabeat*net/film/konten/konspirasi-yahudi-di-film-senyap-teknis,-teater-dan-konspirasi Diakses tanggal 25 Januari 2016
·
http://www.infospesial*net/tags/kontroversial/41556-senyap-film-tentang-gerakan-30-september-g30s-pki/ Diakses tanggal 25 Januari 2016
·
http://seleb.tempo*co/read/news/2014/12/11/111627880/film-senyap-ditolak-ini-isi-ceritanya Diakses tanggal 25 Januari 2016
·
http://www.kompasiana*com/raistatazkiya/kontroversi-pemutaran-film-senyap-silence_54f38920745513932b6c7a8b Diakses tanggal 25 Januari 2016
·
http://www.bbc*com/indonesia/majalah/2016/01/160115_majalah_film_senyap Diakses tanggal 25 Januari 2016
Terimakasih Anda telah membaca tulisan / artikel di atas yang berjudul : Makalah Analisis Film Dokumenter Senyap (The Act of Killing) jangan lupa komen dan berbagi :)
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar