Kamis, 07 Mei 2015
Teater Dardanella
Reviewed by Esemka
Date 5/07/2015 12:20:00 PM
Label:
artikel
,
seni pertunjukan
,
tugas
Teater Dardanella
Posted by
Esemka
di
5/07/2015 12:20:00 PM
Teater Dardanella
Sejarah Teater Dardanella
Dardanella
adalah nama sebuah kelompok sandiwara yang
didirikan di Sidoarjo, Jawa
Timur pada
tanggal 21 Junitahun 1926.
Didirikan oleh Willy Klimanoff, seseorang pendatang berdarah Rusia yang
lahir di Penang, Malaysia.
Selanjutnya Willy berganti nama, lebih dikenal dengan nama A. Piedro. Sebelum
kelompok Dardanella ini lahir telah ada kelompok-kelompok sandiwara profesional
yang lebih dulu terkenal, salah satunya adalah kelompok Opera Miss
Riboet.Kelompok sandiwara Dardanella ini mungkin
adalah rombongan kelompok kesenian pertama di Indonesia yang
memiliki reputasi internasional.
Terlihat dari riwayat pertunjukannya yang menjelajah hingga ke empat benua,
mulai dari Singapura, Rangoon, Madras, Calcuta, New Delhi, Bombay, Baghdad,
Basra, Kairo, Roma, Muenchen, Warsawa, Amsterdam, hingga kota-kota di Amerika..
Dardanella lahir di tengah-tengah masa kejayaan Miss
Riboet atau
lebih dikenal dengan Miss Riboet Orion.Tak heran jika motivasi kelahiran
Dardanella menyaingi kepopuleran, keberhasilan, dan kesuksesan kelompok Miss
Riboet. Miss Riboet populer
dan sukses berkat seorang bintang panggung yang cantik, yaitu Miss Riboet.Untuk
menyaingi ketenaran Miss Riboet,
Dardanella mengetengahkan seorang bintang yang sedang menanjak namanya yaitu Tan
Tjeng Bok, yang khusus memerankan tokoh pahlawan yang
pandai memainkan pedang.Dalam perkembangan selanjutnya, bintang-bintang seperti Devi Dja (lebih
dikenal dengan Miss Dja) dan Astaman bergabung ke Dardanella.Menyusul pula Andjar
Asmara dan Njoo
Cheong Seng bergabung
sebagai penulis naskah. Kedua
penulis naskah itu berani menyajikan cerita-cerita yang agak "berat"
dan "problematik" karena mereka menyadari bahwa penonton rombongan
sandiwara itu ada yang dari golongan terpelajar. Meski demikian, Dardanella
tidak melupakan motto yang dipakai dalam pertunjukannya, yaitu "memberi
tontonan yang memuaskan publik".
Konsepsi
estetika realisme yakni semangat impresionis.Tidak lagi menggubris pesan-pesan sejarah, kitab
suci, tetapi langsung memberikan kesan tentang
persoalan-persoalan pada pokok temanya.Konsepsi realisme ingin menohok konsepsi
romantisisme yang cenderung menjadikan kehidupan seperti mimpi. Dalam hal ini
pementasan Dardanella tidak lagi menampilkan epos Ramayana yang
merupakan model pementasan tradisional, akan
tetapi Dardanella lebih banyak memainkan naskah-naskah yang sedang terjadi pada
masyarakat sekitar. Misalnya, lakon Nyai
Dasima dan Si Conat. Namun akhirnya sama
sekali meninggalkan tradisi komedi bangsawan, lakon dimainkan sama sekali tanpa
nyanyian. Tidak hanya dalam tradisi lakon, dalam tradisi pementasannya pun
Dardanella juga banyak melakukan perombakan. Semangat
modernitas yang dibangun oleh Dardanella terlihat dalam setiap pertunjukannnya
telah memakai scrip atau naskah, pengadaan properti, kostum, make-up, juga
melakukan pementasan yang utuh, artinya, teater Dardanella menghilangkan
konvensi-konvensi lelucon dan tarian-tarian yang memberikan kesenangan lebih
pada penonton. Dardanella melalui A. Piedro dan Andjar Asmara telah melakukan
sistem manajerial pertunjukan secara profesional yang merupakan supra
struktural dari suartu pertunjukan.Hal ini yang merupakan ciri dari teater
modern dengan semangat realisme.
Menjelang
dan saat-saat Sumpah Pemuda digelar
pada Oktober tahun 1928,
rombongan sandiwara Dardanella sedang sibuk-sibuknya pentas keliling kota-kota
diNusantara. Sebuah
kerja artistik yang tak banyak diketahui, juga bermuatan dan menyebarkan
semangat kemerdekaan, bahkan
mempraktikkan gagasan tentangTanah
Air, bangsa, dan bahasa yang
satu: Indonesia. Bahkan
sebagaimana semua lakon yang mereka mainkan di banyak kota Nusantara, mereka
mengampanyekan penggunaan bahasa itu kepada seluruh penontonnya. Fakta
relasional antara Sumpah Pemuda dan kerja artistik atau kesenian ini tercatat
dalam buku Gelombang Hidupku: Devi Dja dari
Dardanella, yang ditulis sastrawan kawakan Ramadhan KH.
Sebagaimana judulnya, buku ini memang biografi Soetidjah alias Devi Dja, sang
primadona Dardanella. Yang karena begitu identiknya pencitraan di antara
keduanya, kisah ini dapat dikatakan juga merupakan biografi dari kelompok itu
sendiri.
Pertunjukan
mereka di Rangoon dan New
Delhi sempat
ditonton tiga tokoh besar politik modern India: Mahatma
Gandhi, Jawaharlal Nehru, dan Rabindranath Tagore.
Kemudian, saat menggelar pertunjukan di Muenchen,
pemimpin besar Jerman kala
itu, Adolf
Hitler, sempat berniat datang menyaksikan.Akan
tetapi, karena alasan kedaruratan, rencana itu dibatalkan.Pada zamannya,
Dardanella mungkin dikategorikan sebagai seni pop. Sebuah
jenis kesenian yang di mana pun dan pada masa apa pun selalu memiliki jangkauan
publik yang besar. Pertautannya dengan selera publik yang besar inilah yang
membuat seni pop kadang dikategorikan sebagai seni yang ”tidak serius”. Sebuah
alasan yang mungkin membuat Dardanella tidak diperhitungkan perannya dalam
sejarah perjuangan negeri ini.
Peran
pers dan sastra ”pop” berbahasa Melayu Pasar
seperti yang banyak ditulis oleh kalangan keturunan Tionghoa,
sebagaimana terindikasi oleh Ben Anderson,
memiliki peran signifikan dalam penyebaran gagasan kebangsaan itu. Dardanella
jelas bukan suatu jenis penerbitan. Akan tetapi, dengan bahasa Melayu yang
digunakan dalam setiap pementasannya di berbagai kota di Indonesia hingga
akhir 1930-an, dan
selalu dipenuhi penonton itu, perannya dalam penyebaran bahasa Melayu pastilah
tidak kecil. Lebih-lebih mengingat tingkat kemampuan untuk membaca yang masih
sangat rendah pada saat itu. Keanggotaan Dardanella sendiri merepresentasikan
”keindonesiaan” yang luas.
Para pemainnya datang dari berbagai suku di Indonesia Jawa, Ambon, Minang, Sunda, Sumbawa, dan
lainnya, serta juga para peranakan indo. Khusus peran para peranakan-indo di
dalam Dardanella ini, selaras dengan tesis Ben Anderson tentang pentingnya
peran ”kreol”, membuktikan bagaimana pembauran etnik (lokal dan lokal maupun
dengan asing) menjadi faktor yang signifikan dalam pembentukan kesadaran serta
praktis kebangsaan di negeri ini.
Bentuk
Pementasan
Bahasa
yang digunakan para pemain Dardanella adalah bahasa Melayu,
demikian pula bila sedang mementaskan lakon-lakon yang ditulis dalam bahasa
asing, para pemainnya menggunakan bahasa Melayu.Misalnya,
lakon-lakon "Victor
Ido" yang ditulis dalam
bahasa Belanda.Tradisi sandiwara yang
dikembangkan Dardanella tidak banyak berbeda dengan tradisi komedi
bangsawan.Dalam perkembangannya, mereka menampilkan lakon yang mengarah kepada
penceritaan lakon-lakon yang lebih realistis.Realisme yang dimaksud ialah
melihat peristiwa sehari-hari yang dialami setiap saat (ilusi kenyataan), bahwa
sebuah pementasan bukanlah sekedar menyajikan cerita, tetapi ada pesonanya,
yakni yang seakan-akan bersungguh-sungguh, suatu permainan yang menimbulkan
rangsangan pikiran bahwa yang terjadi di panggung bisa pula terjadi pada
penonton.
Dardanella
dianggap sebagai pembenih sandiwara modern Indonesia. Mereka
merombak beberapa tradisi yang telah lazim pada masa stambul, bangsawan, dan
opera, seperti: membuat pembagian episode yang lebih ringkas, menghapuskan
adegan perkenalan para tokoh sebelum bermain, menghilangkan selingan nyanyian
atau tarian di tengah adegan, menghapus kebiasaan memainkan sebuah lakon hanya
dalam satu malam pertunjukan, dan objek cerita sudah mulai berupa cerita-cerita
asli, bukan dari hikayat-hikayat lama atau cerita-cerita yang diambil dari film-film terkenal
(Oemarjati, 1971: 30-31).
Pekembangan
Teater di Indonesia Setelah Dardanella.
Tidak
banyak diketahui, apa dan bagaimana nasib teater Indonesia pada Zaman Jepang. Tapi, yang
jelas, pada Zaman Jepang, bentuk teater professional (populis) yang hidup dan
berkembang pada sekitar tahun 1870 hingga 1941, telah berubah menjadi teater
propagandis.Semua tema harus untuk kepentingan perang Tentara Kekaisaran
Jepang, demi kejayaan Asia Timur Raya.
Pada
masa itu, tercatat lahir beberapa kelompok sandiwara. Antara lain, Opera
Valencia yang didirikan pada 1920 masih bertahan dan berganri nama menjadi Miss
TTjitjih (Sunda). Sandiwara serupa tapi dalam bahasa Jawa juga ada, namanya
Wargo. Kelompok lain: Dewi Mada (1943), Warna Sari (1943), Irama Masa,
Sandiwara Angkatan Moeda Matahari dan Pantjawarna di Jakarta, Moerni di
Semarang, Reaksi Seni, Djawa Esya Kosya (Tjahaja Asia), dan Sandiwara Penggemar
Maya pimpinan Usmar Ismail.
Usmar
Ismail mendirikan ATNI, Akademi Teater Nasional Indonesia, di Jakarta pada
1955. Salah seorang murid Usmar Ismail,
Teguh Karya, mendirikan Teater popular pada 1968. Murid Teguh Karya, N.
Riantiarno, mendirikan Teater Koma pada 1977 di Jakarta. Sementara itu, WS
Rendra mendirikan Bengkel Teater 1967, di Yogyakarta.Arifin C. Noer mendirikan
Teater Ketcil, 1968, di Jakarta. Putu Wijaya mendirikan Teater Mandiri, 1974,di
Jakarta. Jim Adimalas dan Suyatna Anirun mendirikan Studiklub Teater Bandung,
1958, di Bandung.
Seniman
teater yang juga berkiprah bersama kelompoknya adalah Ikranagara (Teater Saja),
Budi S. Otong (Teater Sae), Dindon WS (Teater Kubur), Ratna Sarumpaet (Teater
Satu Merah Panggung), dan Butet Kertarejasa (Teater Gandrik).Anak-anak muda
yang dinamis dan tak lelah melakukan eksperimen adalah seniman-seniman berbakat
yang kelompoknya sering disebut sebagai Teater Kontemporer Indonesia. Mereka
bergerak, atau mendirikan kelompok, sebagian besar sesudah tahun 1990-an. Meski
ada juga yang berkiprah sejak 1980-an .
antara lain, Teater Tetas, Bandar Teater, Jakarta, Teater SIM, Teater Syahid,
Teater Siluet, Teater Kami, semuanya
bermarkas di Jakarta. Paying Hitam, Asep Budiman, Main Teater, ActorsUnlimited,
Creamer Box, Teater Replubik, Celah-Celah Langit, Laskar Panggung, semuanya
bermarkas di Bandung. Di Yogyakarta: Teater Garasi, Gardanalla, Gandrik, Papermoon. Di Lampung:
Teater Satu, Komunitas Berkat Yakin. Di Padang: Teater Hitam Putih, KSST
Noktah, Teater Sakata, Komunitas Sni Intro. Di Makasar: Teater Kala, Teater
Kita, Sanggar Merah Putih.
Kesimpulan
Teater dalam
perkembangan sejarahnya dibagi menjadi beberapa periodeisasai sejarah
diantaranya.
1.
Zaman Teater
Lama.
2.
Periode tahun
1926-1942
3.
Periode Tahun
1942-1945
4.
Periode 1963-
sekarang
Prinsip-prinsip sebuah karya dalam karya seni ialah:
1.
Diciptakan oleh
manusia
2.
Berada dalam
dunia fiksi (khayalan), bukan dunia yang nyata (immanen)
3.
Mampu
menghadirkan nilai-nilai estetis dan nilai-nilai spiritual
Dardanella
adalah nama sebuah kelompok sandiwara yang didirikan di Sidoarjo, Jawa Timur pada tanggal 21 Junitahun 1926. Didirikan
oleh Willy Klimanoff, seseorang pendatang berdarah Rusia yang lahir di Penang, Malaysia. Selanjutnya
Willy berganti nama, lebih dikenal dengan nama A. Piedro.
Dardanella
dianggap sebagai pembenih sandiwara modern Indonesia. Mereka
merombak beberapa tradisi yang telah lazim pada masa stambul, bangsawan, dan
opera, seperti: membuat pembagian episode yang lebih ringkas, menghapuskan
adegan perkenalan para tokoh sebelum bermain, menghilangkan selingan nyanyian
atau tarian di tengah adegan, menghapus kebiasaan memainkan sebuah lakon hanya
dalam satu malam pertunjukan, dan objek cerita sudah mulai berupa cerita-cerita
asli, bukan dari hikayat-hikayat lama atau cerita-cerita yang diambil dari film-film terkenal
Terimakasih Anda telah membaca tulisan / artikel di atas yang berjudul : Teater Dardanella jangan lupa komen dan berbagi :)
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar